Diantaranya adalah kekayaan budaya yang dapat digali dan bernilai jual lebih jika dikembangkan. Hanya saja kondisinya akhir-akhir ini semakin mengkhawatirkan, akibat pengelolaan yang tidak berpihak pada pelestarian.
Salah satu tempat yang yang ternyata menyimpan banyak cerita bersejarah adalah “Pusuk Buhit” puncak tertinggi yang terletak di Desa Limbong-Sagala, Kecamatan Sianjur Mula-mula, Kabupaten Samosir, berjarak sekitar 15 km dari Pangururan.
Menurut kepercayaan masyarakat Batak, pada abad XII, Pusuk Buhit dianggap sebagai tempat asal muasal seluruh Suku Batak. Dalam perkembangannya, nenek moyang Suku Batak menyebar ke delapan penjuru mata angin, yakni; Purba, Anggoni, Dangsina, Nariti, Pastia, Mangadia, Utara, Irisanna atau dari Timur higga Timur Laut (baca; hingga seluruh dunia). Berada di kawasan ini, seakan berada di sebuah tempat dan jaman yang berbeda.
Tak jauh dari tempat itu, tepatnya di kaki bukit, terdapat sebuah tempat keramat yang dianggap sakral bagi masyarakat setempat, bernama “Batu Hobon”. Disebut demikian karena bentuknya berupa batu berdiameter satu meter dengan bagian bawah berongga. Diperkirakan batu ini merupakan sebuah lorong yang mungkin saja berbentuk goa. Dulunya di tempat ini kerap diadakan upacara sakral yang masih berlanjut hingga sekarang. Upacara itu diyakini sebagai penghormatan pada roh leluhur sekaligus menerima pewahyuan dari nenek moyang, dikenal dengan sebutan “Tatea Bulan”.
Di Batu Hobon ini lah pomparan Ompu Guru Tatea Bulan pada mulanya bermukim. Diriwayatkan, Pusuk Buhit sebagai tempat turunnya Si Raja Batak yang pertama, diutus oleh Mulajadi Nabolon atau Tuhan Yang Maha Esa untuk mengusai tanah Batak.
Disanalah Raja Batak memulai kehidupannya. Dalam silsilahnya, Raja Batak memiliki dua orang anak sebagai pembawa keturunan atau marga dan menjaga martabat keluarga. Kedua putra Raja Batak itu bernama Guru Tatea Bulan dan Raja Isombaon.
Pada gilirannya, Guru Tatea Bulan memiliki lima orang putra dan lima orang putri. Kelima putranya bernama; Raja Uti (tidak memiliki keturunan), Sariburaja, Limbong Mulana, Sagala Raja dan Silau Raja. Dari keturunan mereka lah asal muasal semua marga-marga Batak muncul dan menyebar ke seluruh penjuru.
Konon, Batu Hobon adalah buah tangan Raja Uti untuk menyimpan harta kekayaan orang Batak, berupa benda-benda pusaka dan alat-alat musik. Diyakini pula, di dalam Batu Hobon ini tersimpan Lak-Lak (sejenis kitab) yang berisi ajaran dan nilai-nilai luhur. Berdasarkan pewahyuan yang datang pada keturunannya, diperkirakan pada suatu saat, benda-benda yang tersimpan dalam batu itu akan di keluarkan sendiri oleh Raja Uti –yang menurut kepercayaan setempat tidak pernah mati (baca: moksa)–. Dia akan tetap hidup dalam pribadi-pribadi pilihan yang tentu masih keturunannya.
Di atas Batu Hobon terdapat Sopo Guru Tatea Bulan yang dibangun tahun 1995 oleh Dewan Pengurus Pusat Punguan Pomparan Guru Tatea Bulan. Bangunan ini terdapat di Bukit Sulatti (di bawah Pusuk Buhit), dan di dalam bangunan terdapat sejumlah patung keturunan Raja Batak berikut dengan patung sejumlah kendaraan si Raja Batak dan pengawalnya. Kendaraan itu antara lain naga, gajah, singa, harimau dan kuda. Jejak sejarah di Tanah Batak itu yang sering dilupakan pemerintah.
Selain itu, di desa ini terdapat cagar budaya berupa miniatur Rumah Si Raja Batak. Dahulunya, sebutan Raja Batak ternyata bukan karena posisinya sebagai raja dan memiliki daerah pemerintahan, melainkan lebih pada penghormatan terhadap nenek moyang Suku Batak. Di perkampungan ini, ada bangunan rumah semitradisional Batak, yang merupakan rumah panggung terbuat dari kayu, tanpa paku, dilengkapi tangga, dan atap seng (baca: rumah Batak asli atapnya dari ijuk).
Gondang Saparangguan (Seperangkat Gendang Batak), Pagar (Ramuan penangkal penyakit), hujur sumba baho (tombak bertuah), piso solom Debata (pedang bertuah), pungga Haomasan (Batu Gosok Emas), tintin Sipajadi-jadi (Cincin Ajaib), tawar Sipagabang-abang, Sipagubung-ubung, Sipangolu na Mate, Siparata Naung Busuk (Obat yang mampu menghidupkan yang sudah mati, serta menyegarkan kembali yang telah busuk). Pagar, Hujur Sumba Baho, Piso Solom Debata, Pungga Haomasan, Tintin Sipanjadi-jadi dan Tawar, semua dibungkus dengan buku lak-lak atau buku Pustaha, yaitu Buku Ilmu Pengetahuan tentang kebudayaan Batak, yang di tulis dengan aksara Batak. Peti Batu tempat penyimpanan harta pusaka inilah yang disebut Batu Hobon (Peti Batu) karena Hobon artinya Peti.
Keanehannya :
Sudah tiga kali orang berusaha untuk membuka Batu Hobon ini namun ketiga-tiganya gagal, dan orang yang berusaha membuka itupun serta merta mendapat bala dan meninggal dunia.
Pertama :
Pada zaman penjajahan Belanda, ada seorang pejabat Pemerintah Belanda dari Pangururan, berusaha untuk membuka batu Hobon, dia berangkat membawa dinamit dan peralatan lain, serta beberapa orang personil. Pada saat mereka mempersiapkan alat-alat untuk meledakkan Batu Hobon itu dengan tiba-tiba datanglah hujan panas yang sangat lebat, disertai angin yang sangat kencang, serta petir dan guntur yang sambung menyambung, dan tiba-tiba mereka melihat ditempat itu ada ular yang sangat besar dan pada saat itu juga ada berkas cahaya (sinar) seperti tembakan sinar laser dari langit tepat keatas Batu Hobon itu, maka orang Belanda itu tiba-tiba pingsan, sehingga dia harus di tandu ke Pangururan, dan setelah sampai Pangururan dia pun meninggal dunia.
Kedua :
Pada masa pemberotakan PRRI, ada seorang tentara yang berusaha untuk membuka Batu Hobon ini, menembaki Batu Hobon itu dengan senapan, tetapi sampai habis persediaan pelurunya Batu Hobon itu tidak mengalami kerusakan apa-apa, bahkan si Tentara itu menjadi gila dan dia menjadi ketakutan dia berjalan sambil berputar-putar, serta menembaki sekelilingnya, walaupun peluru senapannya sudah kosong, dan tidak berapa lama, si Tentara itupun meninggal dunia.
Ketiga :
Pernah juga ada orang yang tinggalnya di daerah Sumatera Timur, berambisi untuk mengambil Harta Pusaka yang ada dalam Batu Hobon ini, sehingga mereka berangkat kesana dengan beberapa orang personil, membawa peralatan untuk membuka dan memecahkan batu. Mereka sempat membuka tutup lapisan yang paling atas, tetapi dengan tiba-tiba mereka melihat ular yang sangat besar di Batu Hobon itu sehingga mereka lari terbirit-birit dan gagallah usaha mereka untuk membuka Batu Hobon itu dan tidak berapa lama pimpinan rombongan itupun meninggal dunia dan anggota rombongan itupun banyak yang mendapat bala.
Tutup Batu Hobon yang terbuka itu, sempat mengundang keresahan bagi tokoh masyarakat Tapanuli Utara sehingga datanglah ratusan murid-murid Perguruan HKI dari Tarutung yang dipimpin oleh Bapak Mangantar Lumbantobing, untuk memasang kembali tutup Batu Hobon yang sempat terbuka itu. Pada mulanya tutup batu itu tidak dapat diangkat, walaupun telah ratusan orang sekaligus mengangkatnya, tetapi barulah setelah diadakan Upacara memohon restu penghuni alam yang ada di tempat itu yang dipimpin oleh salah seorang pengetua adat dari limbong, maka dengan mudah, tutup batu itu dapat diangkat dan dipasang kembali ketempat semula.
Posting Komentar